Sabtu, 28 Maret 2015

CONTOH KASUS BISNIS PRAKTEK DUMPING



PERSENGKETAAN BEA MASUK ANTI-DUMPING PADA KERTAS IMPOR INDONESIA
(www.tempo.co)

Indonesia sebagai negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestik untuk disubsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tarif dan non tarif dan kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang melakukan dumping adalah Indonesia.

Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yaitu kasus antara Korea Selatan dan Indonesia, dimana Korsel menuduh Indonesia melakukan dumping Woodfree Copy Paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.

Pada mulanya harga produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas Korsel tidak dapat memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk produk kertas Indonesia dengan harga yang lebih murah (termasuk jika dibandingkan dengan harga di pasar Indonesia) dan juga dengan produk yang memiliki fungsi/nilai substitusi atas produk kertas yang tidak dapat dipenuhi produsen kertas Korsel, hal ini disebut juga dengan “Like Product”. Karena hal inilah maka produk kertas Indonesia lebih banyak diminati oleh pasar di Korsel, sedangkan kertas produk Korsel sendiri menurun penjualannya. Itulah mengapa Korsel menetapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk kertas yang masuk dari Indonesia, untuk melindungi produk dalam negeri nya.

Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.

Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Dan pada 9 Mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BMAD terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dan untuk April Pine dan lainnya 2,80%.

Dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor Woodfree Copy Paper Indonesia ke Korsel yang pada tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun menjadi 67 juta dolar pada tahun 2003. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
           


PENYELESAIAN KASUS
           

Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga negara ekspor dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO.
Berikut langkah-langkah penyelesaian kasus dumping ini.

  • Indonesia meminta bantuan kepada Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body (DSB) WTO dan melalui Panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan Korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikan dan artikel lainnya dan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh menteri keuangan dan ekonomi nya pada tanggal 7 November 2003. Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tarif seperti yang tercakup dalam GATT. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak “curang” dengan tidak melaksanakan keputusan Panel. Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO.
  • Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan anti dumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan Bea Masuk Anti Dumping.      Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8 - 8,22 % terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper.
  • Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan. 
  • Kasus dumping Korea-Indonesia pada akhirnya dimenangkan  oleh Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka Indonesia perlu melakukan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. 
  • Pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.


TANGGAPAN:

Korea terlalu cepat menilai Indonesia melakukan praktek dumping tanpa berfikir panjang dengan tidak berusaha menghitung ulang margin dumping pada produk kertas Indonesia dan tidak meneliti kembali kesepakatan perdagangan antara Korea dan Indonesia.

SARAN:
  • Setiap negara yang melakukan ekspor impor sebaiknya menghitung margin dumping dengan teliti dan berusaha menyepakati perjanjian-perjanjian yang ada dengan baik.
  • Setiap negara yang melakukan ekspor impor perlu melakukan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri.



REFERENSI
  • Anindika, Ratya & Reed, R. Michael. Bisnis dan Perdagangan Internasional. 2008. Andi: Yogyakarta
  • Griffin, Ricky W & Pustay, Michael W. Bisnis Internasional Edisi Keempat Jilid 2.2006. Indeks: Jakarta.
  • Tambunan, Tulus T H. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. 2004. Ghalia Indonesia: Jakarta.
  • http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/01/eko09.htm
  • http://www.tempo.co/read/news/2010/10/25/090286990/Penghentian-Kasus-Dumping-Kertas-Belum-Direspons-Pengusaha-Korea
  • https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar